Tanya Jawab Masalah Bid’ah – Syaikh Utsaimin –

Mungkin ada diantara kita yang bertanya bagaimanakah pendapat anda tentang perkataan Umar bin Khattab r.a. setelah memerintahkan kepada Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari agar mengimami orang-orang di bulan Ramadhan. Ketika keluar mendapatkan jama’ah sedang berkumpul dengan imam mereka, beliau berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah…dst.”

Jawabannya:
Pertama:
bahwa tak seorangpun diantara kita boleh menentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun dengan perkataan Abu Bakar, Umar, ‘Utsman, Ali atau dengan perkataan siapa saja selain mereka. Karena Allah Ta’ala berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tahukah anda, apakah yang dimaksud dengan fitnah?
Fitnah, yaitu syirik. Boleh jadi apabila menolak sebagian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terjadi pada hatinya suatu kesesatan, akhirnya akan jadi binasa.”
Ibnu Abbas r.a. berkata: “Hampir saja kalian dilempar batu dari atas langit. Kukatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, tapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.”

Kedua:
Kita yakin kalau Umar r.a. termasuk orang yang sangat menghormati firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Beliaupun terkenal sebagai orang yang berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala, sehingga tak heran jika beliau mendapat julukan sebagai orang yang selalu berpegang teguh kepada kalamullah. Dan kisah perempuan yang berani menyanggah
perkataan beliau tentang pembatasan mahar (maskawin) dengan firman Allah, yang artinya: “Sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak…” bukan rahasia lagi bagi umum, sehingga beliau tidak jadi melakukan pembatasan mahar. Sekalipun kisah ini perlu diteliti lagi tentang kesahihannya, tetapi dapat menjelaskan bahwa Umar adalah seorang yang senantiasa berpijak pada ketentuan-ketentuan Allah, tidak
melanggarnya.
Oleh karena itu, tak patut bila Umar r.a. menentang sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata tentang suatu bid’ah: “Inilah sebaik-baik bid’ah”, padahal bid’ah tersebut termasuk dalam kategori sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Akan tetapi bid’ah yang dikatakan oleh Umar, harus ditempatkan sebagai bid’ah yang tidak termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Maksudnya adalah mengumpulkan orang-orang yang mau melaksanakan sholat sunat pada malam bulan Ramadhan dengan satu imam, dimana sebelumnya mereka melakukannya sendiri-sendiri. Sedangkan sholat sunat ini sendiri sudah ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Aisyah r.a. bahwa: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qiyamul lail (bersama para sahabat) tiga malam berturut-turut, kemudian beliau menghentikannya pada malam keempat dan bersabda: “Sesungguhnya aku takut kalau sholat tersebut diwajibkan atas kamu, sedangkan kamu tidak
mampu untuk melaksanakannya.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi qiyamul lail (sholat malam) di bulan Ramadhan dengan berjama’ah termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun disebut bid’ah oleh Umar r.a. dengan pertimbangan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menghentikannya pada malam keempat, ada diantara orang-orang yang melakukannya sendiri-sendiri, ada yang melakukannya dengan berjama’ah dengan beberapa orang saja dan ada yang berjama’ah dengan orang banyak. Akhirnya Amirul mu’minin dengan pendapatnya yang benar mengumpulkan mereka dengan satu imam. Maka perbuatan yang dilakukan oleh Umar ini disebut bid’ah, bila dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang
sebelum itu. Akan tetapi sebenarnya bukanlah bid’ah, karena pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan penjelasan ini, tidak ada suatu alasan apapun bagi ahli bid’ah untuk menyatakan perbuatan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah.

Mungkin ada juga yang bertanya: Ada hal-hal yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi disambut baik dan diamalkan oleh umat Islam, seperti adanya sekolah, penyusunan buku, dan lain sebagainya. Hal-hal baru seperti itu dinilai baik oleh umat Islam, diamalkan dan dipandang sebagai amal kebaikan. Lalu
bagaimana hal ini, yang sudah hampir menjadi kesepakatan kaum Muslimin, dipadukan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Setiap bid’ah adalah kesesatan.”

Jawabannya:
Kita katakan bahwa hal-hal seperti ini sebenarnya bukan bid’ah, melainkan sebagai sarana untuk melaksanakan perintah, sedangkan sarana itu berbeda-beda sesuai tempat dan zamannya. Sebagaimana disebutkan dalam kaidah: “Sarana dihukumi menurut tujuannya”.
Maka sarana untuk melaksanakan perintah, hukumnya diperintahkan, sarana untuk perbuatan yang tidak diperintahkan, hukumnya tidak diperintahkan, sedang sarana untuk perbuatan haram, hukumnya adalah haram. Untuk itu suatu kebaikan jika dijadikan sarana untuk kejahatan, akan berubah hukumnya menjadi hal yang buruk dan jahat.
Firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” Padahal menjelek-jelekkan sembahan orang-orang musyrik adalah perbuatan haq dan pada tempatnya, sebaliknya menjelek-jelekkan Rabbul ‘Alamien adalah perbuatan durjana dan tidak pada tempatnya. Namun karena perbuatan menjelek-jelekkan dan memaki sembahan orang-orang musyrik menyebabkan mereka akan memaki Allah, maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini sengaja kami kutip, karena merupakan dalil yang menunjukkan bahwa sarana dihukumi menurut tujuannya. Adanya sekolah-sekolah, karya ilmu pengetahuan dan penyusunan kitab-kitab dan lain sebagainya walaupun hal baru dan tidak ada seperti itu pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun bukan tujuan, tetapi merupakan sarana. Sedangkan sarana dihukumi menurut tujuannya. Jadi seandainya ada seorang yang membangun gedung sekolah dengan tujuan untuk pengajaran ilmu yang haram, maka pembangunan tersebut hukumnya adalah haram. Sebaliknya apabila bertujuan untuk pengajaran ilmu syar’i, maka pembangunannya adalah diperintahkan.

Jika ada pula yang mempertanyakan: bagaimana jawaban Anda terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikutinya (meniru) perbuatannya itu…”

Jawabannya:
Bahwa orang menyampaikan ucapan tersebut adalah orang yang menyatakan pula: “Setiap bid’ah adalah kesesatan” yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin sabda beliau sebagai orang yang jujur dan terpercaya ada pertentangan satu sama lainnya. Sebagaimana firman Allah juga tidak ada yang saling bertentangan. Kalau ada yang beranggapan seperti itu, maka hendaklah ia meneliti kembali. Anggapan tersebut terjadi mungkin karena dirinya yang tidak mampu atau kurang jeli. Dan sama sekali tidak akan ada pertentangan dalam firman Allah atau sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut, karena Nabi menyatakan: “Man Sanna Fil Islam” yang artinya” Barangsiapa berbuat dalam Islam” sedangkan bid’ah bukan termasuk dalam Islam, kemudian menyatakan “sunnah hasanah” berarti sunnah yang baik, sedangkan bid’ah bukan yang baik. Tentu berbeda antara berbuat sunnah dengan mengerjakan bid’ah.

Jawaban lainnya, bahwa kata-kata “Man Sanna” bisa diartikan pula: “Barangsiapa menghidupkan suatu sunnah” yang telah ditinggalkan dan pernah ada sebelumnya. Jadi kata “Sanna” tidak berarti membuat sunnah untuk dirinya sendiri, melainkan menghidupkan kembali suatu sunnah yang telah ditinggalkan. Ada juga jawaban lain yang ditunjukkan oleh sebab timbulnya hadits diatas, yaitu kisah orang-orang yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka dalam keadaan yang amat sulit. Maka beliau menghimbau kepada para sahabat untuk mendermakan sebagian dari harta mereka. Kemudian datanglah seorang Anshar dengan membawa sebungkus uang perak yang kelihatannya cukup banyak, lalu diletakkannya dihadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seketika itu berseri-serilah wajah beliau dan bersabda: “Siapa yang memulai memberi contoh kebaikan dalam Islam maka ia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang-orang yang mengikuti (meniru) perbuatannya itu…” Dari sini, dapat dipahami bahwa arti “Sanna” ialah melaksanakan (mengerjakan) bukan berati membuat (mengadakan) suatu sunnah. Jadi arti dari sabda beliau: “Man Sanna Fil Islam Sunnah Hasanah” yaitu “Barangsiapa melaksanakan sunnah yang baik” bukan membuat atau mengadakannya, karena yang demikian ini dilarang berdasar sabda beliau: Kullu bid’ah dhalalah.

Dikutip dari buku: “Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah” oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-‘Utsaimin.
Penerbit Kantor Kerjasama Da’wah & Bimbingan Islam, PO Box 1419 Riyadh 11431.

One Response to “Tanya Jawab Masalah Bid’ah – Syaikh Utsaimin –”

Leave a comment